Anggoro Budi Nugroho, Ekonom.
“Miseriae sensu”, dalam bahasa Latin artinya ‘perasaan menderita’. Ungkapan ini menunjukkan sebuah perasaan akan sulitnya hidup yang selalu ada dalam setiap zaman, setiap rezim pemerintahan manapun yang pernah dilalui, dimana harga-harga dianggap meningkat, mencari pekerjaan disebut-sebut makin sulit, pajak dirasa mencekik, dan orang terjebak pada melankoli romansa untuk kembali ke masa lalu, di saat semuanya seolah dirasa masih menyenangkan, indah dan mengundang untuk selalu kembali kepadanya.
Kenyataan ini, bukanlah kebenaran. Seperti halnya perbedaan antara politik dengan hukum, dimana yang satu berlandaskan opini alternatif artifisial atas berbagai kenyataan yang ada, sementara yang lain berdasarkan atas bukti-bukti dan fakta, baik pidana maupun perdata. Namun orang-orang dengan perasaan miseria sensu tersebut selalu ada pada setiap zaman, tanpa berarti kesulitan objektif yang dimaksud dalam kehidupan tersebut memang sungguh-sungguh ada dan lebih buruk dari era-era sebelumnya.
Tentu, perasaan tersebut semu, menyesatkan, dan merusak suasana kebatinan bersama dengan menjauhkan kita semua dari kemajuan progresif yang sesungguhnya telah ada. Sehingga seorang sastrawan Prancis abad ke-19 penulis Les Miserables (Penderitaan-penderitaan), Victor Hugo, pernah berujar, bahwa “nama dari penderitaan adalah Manusia. Dan ia melolong mengeluh pada semua musim”. Ia, manusia, pada hakikatnya adalah seorang subjek pengeluh.
Dewasa ini, orang dikejutkan oleh embusan pesimisme tentang tesis bubarnya bangsa berpopulasi 260 juta jiwa lebih ini pada suatu masa kelak. Negeri yang seharusnya bersyukur ini, karena terdiri atas 17 ribu pulau lebih, ribuan suku atau etnis, bahasa dan keyakinan, masih kukuh tegar mengada setelah melampaui penyaksian atas bubarnya Uni Sovyet, Yugoslavia, pecahnya Cekoslowakia, dan berbagai konsensus kebangsaan lain, termasuk dua negeri yang hanya terdiri atas 4 hingga 7 etnis, 2 keyakinan religi saja, namun kini hancur berantakan baik dari segi fisik maupun mental dan diterpa rasa nestapa.
Orang berkata dengan mudah: “mari turun ke bawah”, untuk menguatkan muslihat argumennya, bahwa seolah-olah pesimisme yang diutarakannya benar dengan perasaan-perasaan subjektif seolah-olah sudah di lapangan, dan dengan demikian optimisme yang hendak dibangun oleh lawan bicaranya menjadi tumbang dan dianggap naif karena tidak berangkat benar dari praksis di lapangan.
Orang lupa, bahwa hari ini ketimpangan pendapatan terus menurun dari angka koefisien Gini pada kurva Lorenz sebesar 0,41 pada 2014 menjadi 0,39, persentase jumlah penduduk berkategori miskin berhasil ditekan dibawah 10 persen dari kisaran 11,3 persen sejak 2014, dan angka pengangguran menjadi 5,3 dari keseluruhan total populasi angkatan kerja, setelah sebelumnya sempat mencapai 6,2 pada kisaran 2014-2015 lalu, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan kita bernegara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
Lebih dari itu, kita menikmati pengendalian harga-harga yang sangat baik, yang belum pernah ada pada periode-periode yang lalu, dengan kisaran inflasi tahunan yang amat rendah bahkan di titik-titik hari raya, yaitu pada kisaran 3 sampai 4 persen, bahkan dibawah 3 persen per Januari lalu dibandingkan Januari 2018 (year-on-year, y-o-y). Tentu bagi mereka yang tahu bahwa kita pernah mengalami aib inflasi tahunan tinggi yang sampai menembus dua digit dalam perekonomian pada tahun 2005 dan 2008, akan sangat mensyukuri kenyataan-kenyataan yang ada hari ini.
Sementara fakta bahwa depresiasi Rupiah terhadap dollar AS bukanlah yang terburuk dibandingkan dengan Rand Afrika Selatan, Rubel Rusia, peso Argentina, lira Turki, Rupee India dan real Brazil pada helaan suku bunga ‘hanya’ di kisaran 6 persen saja dan imbal hasil obligasi negara atas premi risiko sistematis sedemikian masih dibawah 9 persen untuk jangka waktu 10 tahun, dibawah India, Brazil, dan Turki, dimana dua diantaranya adalah negara motor pendorong permintaan global yang dikenal sebagai BRICS, negara-negara motor pendorong permintaan global yang memiliki peringkat ‘negatif’ sampai ‘stabil’ dari lembaga pemeringkatan global seperti Fitch, Moody’s maupun Standard & Poor, adalah juga kenyataan-kenyataan lain yang masih sangat membesarkan hati, bahwa bangsa ini besar, bertahan dan dipercaya. Imbal hasil ini, berangsur menurun setelah mencapai puncaknya pada Oktober 2018 lalu, dimana titik terendah kita kini masih lebih baik dibandingkan Brazil yang sampai menembus 12,5 persen pada September 2018 lalu.
Bahkan yang sulit dipercaya, di tengah tekanan global akibat sentimen negatif moneter dan perdagangan lewat bergerak terbatasnya permintaan regional maupun berbagai harga komoditas seperti demikian, pemerintah masih leluasa menggelontorkan ekspansi fiskal lewat berbagai paket stimulus industri, BPJS dan pembangunan infrastruktur, yang menjadi motor penggerak pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang setidaknya lestari lebih dahulu.
Selalu memberi ruang kepada berita bohong, berbagai keluhan melankolik yang tidak berlandaskan fakta, hanya akan membawa publik kepada kesenduan kolektif yang perlahan merusak dan tak berkesudahan. Hal ini, dapat berhilir pada rasa pesimisme komunal, yang semakin menjauhkan semua orang dari keagungan dan kemuliaan hidup yang paripurna. Sehingga perasaan-perasaan tersebut, sejatinya hanya dimiliki oleh mereka yang kalah dan dijangkiti inferioritas akibat hipokondria akut yang mengabaikan objektivitas-objektivitas diagnosa dokter yang sesungguhnya menyatakan sehat lewat berbagai rangkaian uji laboratorium.
“Obedientia sicut cadaver”. Taatlah seperti mayat. Setidaknya kepada fakta, kebenaran faktual, dan bukan kepada perasaan. Miseriae sensu hanyalah melankoli perasaan subjektif emosional menderita saja yang tidak berbasis fakta dan selalu ada pada semua zaman dan angkatan, bahkan pada setiap bangsa yang paling maju sekalipun perikehidupannya.
Anggoro Budi Nugroho, Ekonom.
Dosen SBM ITB,
Mahasiswa Doktoral pada Faculte de Doit et Sciences Economiques
Universite de Limoges, Prancis