Anggoro Budi Nugroho, Ekonom.
Utang luar negeri, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dan BPJS adalah tiga variabel yang paling banyak mendapat sorotan publik akhir-akhir ini dari keuangan pemerintah. Terutama menjelang tahun politik 2019 di saat kita akan menyelenggarakan Pemilu mendatang.
Sorotan menjadi kian tajam bukan saja berkaitan dengan momen politik menjelang Pemilu dan dinamika internal lainnya, tetapi juga berubahnya berbagai variabel eksternal yang berkecamuk, terutama terkait naiknya kembali harga minyak dunia, ancaman penaikan suku bunga Amerika Serikat, masih pulih terbatasnya beberapa harga komoditas, dan perang dagang antara Amerika Serikat dengan berbagai negara yang mendefisit transaksi berjalannya, terutama dengan Tiongkok. Sementara permintaan dunia yang dipicu oleh negara-negara Uni Eropa, masih akan stabil dan cenderung didorong oleh negara-negara Asia Timur sesuai laporan prediksi IMF dalam Regional Economic Outlook 2018 per Mei 2018 lalu.
Akibat kelima dinamika global diatas, sorotan publik terhadap APBN menjadi kian intensif, berkisar pada: apakah pemerintah mampu menanggung beban utang luar negeri di tengah depresiasi yang menguncang tidak hanya Rupiah tetapi juga berbagai mata uang lain di dunia, kedua mampukah APBN bertahan dari goncangan subsidi yang kian besar akibat tekanan harga minyak dunia dan beban BPJS yang dilaporkan mengalami defisit.
Rasanya kita harus jujur. Dalam buku teks teori ekonomi manapun, APBN yang baik bukanlah yang tanpa defisit. Atau, APBN yang baik tidak harus yang tidak defisit. Di tengah situasi perekonomian lesu, hingga terjadi paradoks penghematan misalnya seperti di tahun 1998, maka pemerintah manapun harus berani melakukan defisit untuk menjaga agar momen Produk Domestik Bruto (PDB) tetap berjalan di tengah konsumsi, investasi dan akun semasa neraca perdagangan yang menurun. Terjaga, bukan kokoh, adalah kata kunci yang tepat untuk menjadi agenda utama APBN di tengah turbulensi dollar AS dan perang dagang antara AS dengan Tiongkok.
Kini, menilik APBN kita, isu utama yang harus dijaga oleh Kementerian Keuangan adalah kemampuan ekonomi kita untuk tetap bertahan menghela nafas. Di tengah pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang belum beranjak dari rerata 5 persen per tahun, kondisi surplus neraca perdagangan yang belum stabil, maka investasi dan pergerakan ekspansi APBN adalah dua variabel utama penggerak pertumbuhan PDB agar setidaknya tak melemah dari kisaran 5-5,3 persen terlebih dahulu.
Kita masih harus bersyukur, bahwa besaran-besaran pos APBN kita masih menunjukkan angka yang membesarkan hati selama 3 kuartal terakhir. Sepanjang 2018 hingga bulan September lalu, capaian Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) melebihi target sehingga berkontribusi pada peningkatan realisasi penerimaan negara yaitu sebesar hampir 70 persen diatas perkiraan APBN 2018. Sementara penerimaan pajak telah lebih dari 60 persen, diatas 50 persen pada paruh pertama semester I/2018, atau tumbuh sebesar 17 persen dibandingkan tahun 2017 lalu. Pertumbuhan penerimaan pajak bulanan per September 2018 lalu, adalah yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir, dengan penerimaan dari Bea Keluar sebagai instrumen pendukung utama, yang menyumbang kenaikan sebesar hampir 100 persen. Ini adalah prestasi fiskal pemerintah yang patut kita catat, disamping penerimaan amnesti pajak sebesar Rp147 triliun dari total laporan SPH sebesar Rp4,9 quadriliun baik di dalam maupun luar negeri yang telah berakhir 31 Maret 2017 tahun lalu.
Harus diakui, terjadinya dua musibah besar bencana alam di Lombok dan Palu secara bertubi-tubi selama empat bulan terakhir merupakan cobaan Tuhan di luar kehendak kita manusia. Sehingga APBN harus memenuhi tugas moralnya sebagai pelaksana amanat UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia maupun memaukan kesejahteraan umum, dengan melakukan pengeluaran ekstra berupa dana cadangan untuk tanggap darurat bencana sebesar Rp4 triliun guna mitigasi bencana di negeri ring of fire, yang dapat terjadi kapanpun di luar perkiraan kita, dapat mendampak APBN sewaktu-waktu.
Oleh karena itu, di tengah tantangan global melemahnya berbagai mata uang dunia terhadap dollar Amerika Serikat tak terkecuali Rupiah, ancaman suku bunga AS dan bea masuk produk ekspor yang kian dipersulit, hadirnya bencana sebagai takdir Ilahi merupakan faktor internal pendorong defisit yang dapat kita pahami, mengingat besarnya biaya tanggap darurat maupun rekonstruksi dan rehabilitasi prasarana fisik di lokasi bencana yang dalam estimasi BNPB dapat mencapai Rp 15 triliun, apabila hingga mencakup kajian pemetaan prabencana hingga mitigasi. Tentu, angka sebesar itu cukup untuk membuat pemerintah harus berhitung ulang dan memutar kembali (fine-tuning) pos-pos pengeluaran di APBN. Sehingga pemotongan subsidi BBM jenis non-subsidi di kemudian, menjadi pilihan yang dapat kita pahami selain ongkos keekonomian asumsi produksi dan lifting hingga 815 barrel/hari yang selama ini sangat jauh diatas realisasi harga jual di pasar karena kita semua yang tergolong mampu masih dibantu oleh pemerintah.
Sementara itu, posisi utang Luar Negeri (LN) pemerintah per September 2018 lalu masih tergolong aman, yaitu dibawah 60 persen PDB sesuai amanat Undang-Undang No. 17/2003. Selama 2012 hingga 2017 lalu misalnya, posisi peningkatan proporsi utang LN pemerintah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi asing/valas hanyalah sebesar 18,9 persen dari total pinjaman, dengan peningkatan 0,2 persen, dibandingkan dengan utang dalam negeri menggunakan Rupiah yang meningkat lebih besar yaitu 2,3 persen. Sementara peningkatan proporsi utang Pembiayaan dengan menggunakan utang justru menunjukkan tren yang menurun, yaitu sebesar 25 persen lebih rendah dari September 2017 lalu. Sehingga hembusan isu mengenai ancaman utang luar negeri pemerintah terhadap perekonomian menjadi tidak akurat. Bukan utang luar negeri yang tidak ada, namun utang luar negeri telah tertanggulangi dengan baik.
Adapun penyaluran dana BPJS yang dalam praktek penggunaannya terus meningkat di masyarakat, dan yang telah dilakukan pembayaran iurannya Bersama Dana Alokasi Umum (DAU) kepada 16 daerah sebesar hampir Rp 21 miliar, harus diwaspadai dan direstrukturisasi program iurannya, agar di kemudian hari tidak menjadi momok bagi pemerintah.
Maka kita patut bernafas lega, karena cukup dapat dipastikan tidak akan terjadi kontraksi kontribusi APBN terhadap PDB, dengan kemampuan bertahan yang ternyata masih cukup tangguh dari penerimaan pajak, bea masuk, rencana penambahan cukai rokok dan pemutaran subsidi BBM di tengah goncangan nilai tukar dan mitigasi bencana yang menelan biaya tidak sedikit. Sehingga tidak mengherankan, apabila Managing Director IMF Christine Lagarde pun berkata dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali 8-14 Oktober 2018 lalu bahwa perekonomian Indonesia tidak memerlukan bantuan utang luar negeri apapun di tengah berbagai turbulensi tersebut.
Ke depan, pekerjaan rumah terbesar yang harus segera dikerjakan oleh Indonesia adalah menekan semaksimal mungkin laju pertumbuhan penduduk. Program Keluarga Berencana (KB), yang sudah lama terlupakan, harus segera digalakkan kembali. Presiden memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk melaksanakannya terlebih secara kultural. Di tengah produktivitas per kepala pekerja yang rendah dari hasil laporan oleh USAID-SEADI Project pada tahun 2012 lalu, memiliki jumlah penduduk yang banyak dengan demikian bukanlah sebuah kenyataan yang bijak, setidaknya untuk saat ini.
Anggoro Budi Nugroho, Ekonom.
Dosen SBM ITB
Mahasiswa Doktoral pada Universite de Limoges, Prancis