SULITNYA EKONOMI BERBAGI – Kompas, Rabu 15 Maret 2017

Anggoro Budi Nugroho, Ekonom.

Dalam waktu 3 hari, terjadi sedikitnya 2 bentrokan yang pecah di Bandung dan Tangerang antara kelompok pengemudi ojek daring, melawan kelompok pengemudi angkutan kota (angkot) yang menyebabkan korban kritis dan ruginya waktu maupun hilangnya rasa tertib dan aman di masyarakat.

Gejala Nomofobik

Ekonomi berbagi, yaitu pertukaran barang dan jasa atau sumber daya berorientasi rente dengan basis operasional daring, muncul pertama-tama karena hadirnya jaringan internet dan masyarakat yang semakin berwatak nomofobik, yaitu suatu gejala ketergantungan atau kecanduan gawai yang cukup akut dan masif. Dalam 4 tahun sejak 2009, Kementerian Komunikasi dan Informatika melaporkan jumlah gawai yang terjual sebesar 13 juta! Sementara jumlah pengguna internet telah melebihi 50 persen jumlah penduduk dan darinya jumlah pengguna mobile sudah mengalahkan desktop. Inilah kenyetaan yang sulit dicegah dan lamban diantisipasi. Kedua selain itu, adanya minat memburu rente dari setiap individu masyarakat sebagai mahluk ekonomi yang bertindak rasional, sehingga pelaku ekonomi berbagi sejatinya mereka sendiri dan bukan perusahaan.

Adapun modus ekonomi berbagi sebetulnya mudah, yaitu mengubah model lama dimana individu yang sebelumnya berperan melulu sebagai konsumen, menjadi produsen itu sendiri dan sekaligus bisa pula konsumen. Seperti lazim kita jumpai pengemudi berbagai merk layanan ojek dan mobil daring yang rata-rata lazimnya kita masyarakat sendiri, yang suatu ketika juga bisa beralih menjadi penumpang.

Secara filosofis, yang sebenarnya terjadi adalah masyarakat saling bertukar (berbagi) sendiri sumber daya yang mereka miliki melalui gawai, dengan sebagian masyarakat lain yang membutuhkannya, dan juga sebaliknya. Dan dalam konteks inilah, perusahaan akhirnya hilang, dan bisnis mengalami deformalisasi atau deformasi, bahkan delegalisasi. Sekonyong-konyong dalam jangka pendek, orang dengan mudah tidak memerlukan badan usaha untuk menjalankan usaha berbasis daring dan meraup laba. Bahkan, ia bisa saja belum bertarik pajak.

Lebih jauh, masyarakat juga kini berubah mampu memainkan multiperan. Ia menjadi seorang pekerja kantor di pagi hari, lalu seorang pialang saham di sela jam kantor, dan berlanjut pengemudi angkutan daring atau pemberi sewa hunian seperti AirBnB di Amerika Serikat. Dan ketiga, terjadinya revolusi kerja yang cepat, yaitu hilangnya jarak dan ruang antara orang atau peminat sumber daya sebagai permintaan, dengan penyedia sumber daya yang dalam sistem konvensional menjadi sumber profit buat perusahaan.

Sulitnya Berbagi

Sesungguhnya ada beberapa keuntungan dan kerugian dari berjalannya proses ekonomi berbagi ini, baik bagi masyarakat pengguna maupun non pengguna, dan bagi pelaku usaha formal itu sendiri. Bagi masyarakat misalnya, ekonomi berbagi memberikan kecepatan dan kemudahan proses, selain juga berbiaya rendah atau  murah. Hanya dengan beberapa sentuhan layar gawai atau ponsel pintar berlengkap Global Positioning System (GPS), orang bisa mengakses layanan pijat, antar-jemput, pesanan makanan, barang dan juga jasa kebersihan.

Selain itu, variasi produknya juga luas. Setiap orang di masyarakat bisa  menemukan barang apapun yang dicari dari sisi belahan anggota masyarakat yang lain. Seperti rumah kos, losmen tinggal berbujet rendah, vila, pesanan hotel atau hunian lain, desain pakaian tertentu dan lain-lain.

Selain itu bagi pemilik sumber daya penyedia layanan, keuntungan dari ekonomi berbagi adalah efisiennya infrastruktur operasional, yang hanya bermodalkan landasan rancangan atau platform daring saja dan operator penerima telefon. Sebab perusahaan penyedia layanan ekonomi berbagi tidak harus memiliki aset seperti mobil atau sepeda motor yang digunakan. Mereka hanya meminjam saja dari masyarakat pemilik, sehingga efisiensi struktur biaya ini akan dinikmati masyarakat dalam bentuk harga yang makin terjangkau dan manfaatnya dirasakan.

Namun juga tren berbagi ini memiliki beberapa kerugian. Antara lain bagi masyarakat adalah inkonsistensi kualitas produk, dan sulitnya untuk langsung percaya pada penyedia layanan atau problem kredibilitas. Sementara bagi penyedia sumber daya konvensional seperti perusahaan, laba mereka dapat menurun drastis karena masyarakat bisa menemukan sendiri barang mereka dari sisi masyarakat yang lain sehingga disinilah, teori Ronald Coase pemenang Nobel Ekonomi tahun 1991 tentang mengapa perusahaan berdiri menjadi runtuh. Sehingga akhirnya pun tak heran sopir angkot mengamuk, padahal mereka juga melakukan hal yang sama terhadap tukang becak atau bemo di masa lalu.

Jangan salah, survei Pricewaterhouse Coopers (PwC) di Amerika Serikat tahun 2015 menjadi layak disimak. Dalam publikasinya bertajuk “The Sharing Economy”, ditemukan sebanyak 72 persen konsumen Amerika yang disurvei menilai bahwa produk ekonomi berbagi yang mereka gunakan tidak konsisten dalam hal kualitas, sesuatu yang jamak diceritakan sahabat dan rekan kita pengguna transportasi daring. Mulai dari kebersihan hingga merk mobil yang tidak sama, kepribadian sopir dan cara mengemudi yang berbeda-beda karena memang tak ada standarisasi atau uniformisasi personel yang merupakan anggota masyarakat sendiri yang lain. Sementara 69 persen responden PwC mengatakan bahwa mereka sulit percaya untuk pertama kalinya sebelum pengguna lain yang ia kenal menggunakan produk tersebut. Inilah rupanya kelemahan produk ekonomi berbagi yang selama ini kita promosikan sehari-hari itu.

Sehingga akhirnya pun, bagi negara berkembang dengan infrastruktur teknologi dan kelembagaan yang masih relatif rendah dan populasi penduduk besar seperti Indonesia, kehadiran ekonomi berbagi yang sangat cepat masif dan inovatif dari segi teknologi juga berbuah masalah yang membiak. Pertama, para penyedia sumber daya sebagai pemain lama terlambat berinovasi karena yang sesungguhnya dilawan oleh para pengojek tradisional dan pengemudi angkot adalah teknologi, bukan pengemudi ojek yang lain. Kedua, minimnya budaya inovasi, karena rendahnya kebiasaan berhadapan dengan turbulensi. Dan ketiga, mulai tumbuhnya rasa ketidakadilan karena penyedia layanan transportasi daring ini kerap disinyalir belum berbadan hukum dan berkewajiban pajak karena Undang-Undang belum mengatur mereka. DPR hendaknya segera memasukkan RUU perdagangan daring ke dalam prolegnas, atau mengamandemen UU perdagangan yang lama yaitu No.7/2014. Namun apabila mendesak, Presiden Joko Widodo dapat menerbitkan PP atau Perpu sebagai lex specialis

Anggoro Budi Nugroho

Ekonom, Dosen Sekolah Bisnis & Manajemen ITB

Lihat di KOMPAS.